REPORTASE YANG INDAH
JURNALISME SASTRA
Pengarang : Septiawan Santana Kurnia
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : Tahun 2001
Tebal : xii, 304 halaman
Jurnalisme sastra memberi pencerahan kepada wartawan dengan memperkenalkan gaya penulisan bertutur untuk reportase human interest yang sangat rinci. Suatu gaya peliputan dan pelaporan jurnalistik yang telah memperkaya jurnalisme.
Jurnalisme sastra membuka perspektif baru terhadap kerja jurnalistik yang selama ini telah terbiasa dengan konsep 5W+1H (Who, What, When, Why, Where dan How)nya. Hasil kerja jurnalisme ini dianggap sudah kering dan kurang hidup. Maka dengan jurnalisme sastra (literary journalisme) memberikan bentuk pewartaan yang mampu menyampaikan berita keapada pembaca dengan lebih segar dan hidup.
Jurnalisme sastra, sering pula disebut jurnalisme baru, nonfiksi baru/parajurnalisme, jurnalisme alternatif, jurnalisme advokasi, jurnalisme bawah-tanah, dan jurnalisme presisi. Pada hakekatnya berangkat dari kredo yang mengabungkan antara ketrampilan jurnalistik dengan kefasihan berolah sastra. Jurnalisme sastra dipelopori oleh Tom Wolfe sekitar tahun 1960-an ketika popularitas satra televisi makin mendesak media surat kabar.
Juranlisme sastra memerlukan ketrampilan teknis jurnalistik yang kuat maupun kemahiran berbahasa yang lentur, lincah dan renyah. Untuk itu Kurnia lewat buku ini mencoba menghadirkan sebuah acuan yang ditujukan baik bagi pegiat penerbitan majalah, surat kabar, para wartawan, redaktur, editor dan "kaum enulis" dari bidang non-jurnalisme seperti kedokteran, aplikasi ilmiah, iptek komputer, antropologi, serta sosiologi. Melalui buku ini Kurnia mengetengahkan lebih lanjut tentang seluk-beluk jurnalisme sastra, dari sejarah dan tokohnya; cara menyusun sebuah berita; contoh-contoh tulisan para jurnalis dunia; sampai dengan perkembangan jurnalisme baru ini di tanah air Indonesia.
Jurnalisme sastra membuka perspektif baru terhadap kerja jurnalistik yang selama ini telah terbiasa dengan konsep 5W+1H (Who, What, When, Why, Where dan How)nya. Hasil kerja jurnalisme ini dianggap sudah kering dan kurang hidup. Maka dengan jurnalisme sastra (literary journalisme) memberikan bentuk pewartaan yang mampu menyampaikan berita keapada pembaca dengan lebih segar dan hidup.
Jurnalisme sastra, sering pula disebut jurnalisme baru, nonfiksi baru/parajurnalisme, jurnalisme alternatif, jurnalisme advokasi, jurnalisme bawah-tanah, dan jurnalisme presisi. Pada hakekatnya berangkat dari kredo yang mengabungkan antara ketrampilan jurnalistik dengan kefasihan berolah sastra. Jurnalisme sastra dipelopori oleh Tom Wolfe sekitar tahun 1960-an ketika popularitas satra televisi makin mendesak media surat kabar.
Juranlisme sastra memerlukan ketrampilan teknis jurnalistik yang kuat maupun kemahiran berbahasa yang lentur, lincah dan renyah. Untuk itu Kurnia lewat buku ini mencoba menghadirkan sebuah acuan yang ditujukan baik bagi pegiat penerbitan majalah, surat kabar, para wartawan, redaktur, editor dan "kaum enulis" dari bidang non-jurnalisme seperti kedokteran, aplikasi ilmiah, iptek komputer, antropologi, serta sosiologi. Melalui buku ini Kurnia mengetengahkan lebih lanjut tentang seluk-beluk jurnalisme sastra, dari sejarah dan tokohnya; cara menyusun sebuah berita; contoh-contoh tulisan para jurnalis dunia; sampai dengan perkembangan jurnalisme baru ini di tanah air Indonesia.
Komentar